Rumahtiga —  Sore yang teduh dalam persekutuan yang hikmad di gedung gereja  Cahaya Kemuliaan, Rumahtiga. Suasana hening penuh harap menyelimuti ruang ibadah, jemaat tengah memasuki momen kudus Pencanangan Minggu-Minggu Sengsara Yesus Kristus (1|3|2025).

Kebaktian yang khidmat ini dipimpin oleh Pendeta Ny. Lien Laipiopa-T., di bawah tema yang menyentuh kalbu: “Bertumbuh dalam Ketekunan,” berdasarkan pembacaan Alkitab dari 1 Tesalonika 2:1-5. Tema yang bukan hanya sekadar pengingat, tetapi sebuah panggilan mendalam bagi jemaat untuk merenungi makna sejati dari iman yang bertumbuh melalui penderitaan. Dalam khotbahnya, Pdt. Laipiopa mengajak jemaat untuk masuk ke dalam ruang perenungan yang jujur. “Konsekuensi dari pertumbuhan iman, pengharapan, dan kasih bukanlah kenyamanan, melainkan penderitaan,” ujarnya dengan suara tenang namun menggetarkan hati. Ia menegaskan, penderitaan adalah bagian tak terhindarkan dalam hidup orang percaya. Namun bukan untuk menjatuhkan, melainkan justru sebagai alat pemurnian. Dalam penderitaan, iman diuji. Dalam tekanan, kasih menemukan bentuknya yang paling murni.

Salah satu bagian paling menyentuh dari khotbah itu datang ketika Laipiopa menceritakan kisah Fanny J. Crosby, pencipta lagu Kidung Jemaat 392. Seorang wanita tunanetra, korban malpraktik medis yang menyebabkan kebutaan seumur hidup. Namun, dalam kondisi gelapnya, Crosby justru mampu melihat terang kasih Tuhan lebih jelas daripada banyak orang yang memiliki penglihatan sempurna. “Dia berdamai dengan keadaannya. Ketekunannya dalam penderitaan melahirkan pujian-pujian yang hingga kini kita nyanyikan,” tutur Pdt. Laipiopa. Jemaat terdiam. Beberapa terlihat mengusap mata. Bukan karena sedih, tapi karena tersentuh akan betapa indahnya kasih Tuhan yang hadir bahkan di dalam luka terdalam manusia. Penderitaan, dalam terang kasih Tuhan, bukan akhir. Justru ia menjadi jendela menuju pemahaman yang lebih dalam tentang anugerah. “Buah dari ketekunan adalah penglihatan rohani yang mampu melihat betapa indah dan agungnya kebesaran Allah, Tetaplah berpegang teguh dan berharap pada Kristus, karena hanya di dalam Dialah ada keselamatan,” seru  Laipiopa, menutup khotbahnya dengan nada yang membawa harapan.

Pencanangan Minggu-Minggu Sengsara secara resmi dinyatakan oleh Ketua Majelis Jemaat, Pendeta Ari Maitimu. Dengan khidmat, beliau memasang kain ungu pada salib yang diletakkan di depan ruang ibadah. Ungu—warna duka dan pertobatan, sekaligus warna kerajaan—menjadi tanda bahwa perjalanan menuju salib telah dimulai.

Tak ada tepuk tangan, hanya keheningan. Tapi dalam keheningan itu, ada suara-suara batin yang berdoa. Ada janji-janji pribadi yang diperbaharui. Ada jiwa-jiwa yang berkomitmen untuk tetap teguh dalam pengharapan akan Kristus. Pencanangan ini bukan sekadar seremoni liturgis. Ia adalah panggilan bagi setiap jemaat untuk masuk dalam perjalanan batin, menapaki Minggu-Minggu Sengsara dengan hati yang terbuka dan jiwa yang tekun. Bahwa di balik luka ada kasih. Di balik salib ada kebangkitan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *